Pertambangan, industri batu bara, dan energi Sultra belum beri kontribusi optimal ke PAD, kata DPR RI, Mei 2025.
Keberadaan sektor pertambangan, industri batu bara, dan energi di Sulawesi Tenggara (Sultra) masih belum memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini diungkapkan oleh anggota Komisi II DPR RI, Fauzan Khalid, saat kunjungan kerja spesifik di Kendari, Rabu (14/5/2025). Menurut Fauzan, kendala utama berasal dari administrasi perusahaan tambang yang sebagian besar beralamat di luar Sultra, sehingga distribusi dana bagi hasil (DBH) tidak mengalir optimal ke daerah penghasil.
Profil Industri Pertambangan Batu Bara dan Energi di Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batu bara dan sumber energi strategis di Indonesia. Sektor pertambangan di Sultra memainkan peran penting dalam perekonomian lokal dan nasional, terutama dalam penyediaan batu bara untuk pembangkit listrik. Produksi batu bara di Sultra terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, menyuplai kebutuhan energi listrik yang signifikan bagi wilayah Indonesia timur dan nasional.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2024, produksi batu bara Sultra mencapai sekitar 10 juta ton per tahun, menyediakan pasokan energi yang mendukung stabilitas listrik di berbagai provinsi. Industri pertambangan batu bara dan energi di Sultra menjadi tulang punggung ekonomi lokal dengan menyerap tenaga kerja dan mendatangkan investasi, meski demikian, kontribusi fiskal daerah dinilai belum optimal.
Peran Sektor Pertambangan Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sultra
Meski Sultra kaya sumber daya tambang, peningkatan sektor pertambangan belum berbanding lurus dengan peningkatan PAD. Fauzan Khalid menyoroti ketidakseimbangan ini selama kunjungan kerja Komisi II DPR RI. Salah satu faktor utama adalah alamat kantor pusat perusahaan tambang yang umumnya berada di luar Sultra, sehingga dana bagi hasil yang seharusnya mengalir ke daerah penghasil justru terserap di provinsi lain.
“Perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Sultra biasanya memiliki alamat di Makassar, Jakarta, atau Jawa Timur, bukan di Sultra. Ini mengakibatkan pembagian DBH yang tidak menguntungkan daerah penghasil,” ujar Fauzan.
Faktor regulasi juga memengaruhi hal ini, di mana kewenangan fiskal di sektor pertambangan masih sangat terbatas bagi pemerintah daerah. Penerimaan pajak utama masih berada di bawah otoritas pusat, sehingga pendapatan daerah dari sektor pertambangan sulit dimaksimalkan.
Kendala Fiskal dan Administratif dalam Industri Pertambangan Sultra
Kendala terbesar berasal dari masalah administratif, khususnya alamat domisili perusahaan yang tidak berada di Sultra. Hal ini berdampak langsung pada distribusi pendapatan pajak dan dana bagi hasil yang tidak mengalir ke daerah penghasil. Pemerintah daerah menghadapi keterbatasan kewenangan dalam mengelola sektor pertambangan, karena sebagian besar regulasi dan pengawasan berada di tingkat pusat.
Regulasi pusat menghambat optimalisasi pendapatan daerah, sehingga pemerintah daerah hanya dapat mengandalkan pendapatan dari pajak tidak langsung, seperti pajak kendaraan alat berat tambang, dan program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tambang. Model ini dinilai kurang efektif untuk meningkatkan PAD secara signifikan.
“Pemerintah daerah memiliki ruang fiskal yang terbatas akibat kewenangan pertambangan berada di pemerintah pusat,” jelas Fauzan Khalid.
Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan untuk Meningkatkan Pendapatan Daerah
Implementasi Kebijakan NPWP Percabangan untuk Perusahaan Tambang
Salah satu solusi yang didorong oleh Fauzan adalah penerapan kebijakan NPWP percabangan. Kebijakan ini memungkinkan perusahaan tambang tetap mempertahankan alamat pusat di luar daerah, namun memiliki NPWP cabang di Sultra, sehingga daerah penghasil bisa mendapatkan bagian dari pendapatan pajak.
Langkah yang harus diambil pemerintah daerah adalah melakukan koordinasi dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat, dan mendesak perusahaan tambang untuk membuat NPWP percabangan. Dengan demikian, pendapatan pajak dapat dialokasikan secara lebih adil ke daerah penghasil tanpa memaksa perusahaan memindahkan alamat kantor pusatnya.
“Gubernur dan Bupati harus mengundang KPP untuk mendorong perusahaan membuat NPWP percabangan agar pendapatan pajak bisa masuk ke Sultra,” kata Fauzan.
Peran Pemerintah Daerah, DPRD, dan Kantor Pajak dalam Optimalisasi Pendapatan Tambang
Kerja sama erat antara pemerintah daerah, DPRD, dan Kantor Pajak menjadi kunci dalam meningkatkan kontribusi fiskal dari aktivitas pertambangan batu bara dan energi. Sinergi ini diperlukan untuk mengawasi pemenuhan kewajiban perusahaan serta memastikan dana bagi hasil dan pajak dialokasikan dengan benar.
Upaya pengawasan lokal, serta regulasi tambahan di tingkat daerah, dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat posisi pemerintah daerah. Meski tantangan koordinasi lintas instansi cukup besar, langkah kolaboratif ini dinilai esensial untuk mengoptimalkan potensi pajak dan DBH dari sektor pertambangan.
Pemanfaatan Program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Kontribusi Alternatif
Saat ini, kontribusi utama yang dapat diandalkan pemerintah daerah berasal dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tambang. CSR menjadi pintu masuk untuk mendukung pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang.
Berbagai program CSR yang berjalan di Sultra meliputi pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan lingkungan. Namun, CSR memiliki keterbatasan sebagai sumber pendapatan tidak langsung dan perlu didukung kebijakan fiskal formal agar manfaatnya lebih maksimal bagi daerah.
Dampak Industri Batu Bara dan Energi Listrik Terhadap Perekonomian dan Lingkungan Sultra
Kontribusi Energi Listrik dari Batu Bara Sultra untuk Indonesia
Batu bara dari Sultra berperan besar dalam memasok energi listrik di Indonesia, khususnya untuk wilayah Indonesia timur. Pasokan batu bara ini mendukung stabilitas dan pertumbuhan energi nasional, yang berkontribusi pada perkembangan ekonomi regional dan nasional.
Namun, tantangan keberlanjutan penggunaan batu bara sebagai sumber energi mulai mengemuka, mengingat isu lingkungan dan kebijakan energi bersih yang semakin ketat. Pemerintah dan pelaku industri mulai mencari solusi diversifikasi energi untuk masa depan yang lebih hijau.
Isu Lingkungan dan Sosial Akibat Aktivitas Pertambangan Batu Bara
Eksploitasi tambang batu bara di Sultra berdampak pada lingkungan hidup, seperti deforestasi, pencemaran air, dan perubahan lanskap. Masyarakat lokal juga merasakan dampak sosial dan ekonomi, yang terkadang menimbulkan konflik dan ketimpangan.
Upaya mitigasi lingkungan dilakukan oleh perusahaan melalui program tanggung jawab sosial dan pengelolaan lingkungan yang ketat. Namun, pengawasan dan penegakan aturan harus terus ditingkatkan agar dampak negatif dapat diminimalisasi.
Prospek dan Pengembangan Industri Energi Terbarukan di Sultra
Peluang pengembangan energi terbarukan di Sultra mulai digarap sebagai solusi jangka panjang. Inisiatif pemerintah dan swasta dalam mengembangkan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, seperti tenaga surya dan mikrohidro, mendapat perhatian khusus.
Sinergi antara industri pertambangan batu bara dan energi terbarukan diharapkan dapat memperkuat pembangunan berkelanjutan di Sultra, menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan kelestarian lingkungan.
Kemajuan sektor pertambangan dan energi di Sultra memiliki potensi besar untuk memperkuat ekonomi daerah dan nasional. Namun, perbaikan regulasi dan pengelolaan fiskal tetap diperlukan agar kekayaan hasil tambang tidak hanya dinikmati oleh perusahaan pusat di luar daerah, melainkan juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Sultra.
Penguatan kebijakan NPWP percabangan, sinergi antar lembaga, dan pengembangan sumber energi terbarukan menjadi fokus utama untuk mengoptimalkan manfaat sektor pertambangan dan energi yang berkelanjutan di Sultra.
Dengan komitmen bersama, Sultra dapat menjadi contoh pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan, mendukung kemajuan industri batu bara dan energi di Indonesia.
Kesimpulannya, meskipun Sultra memiliki sumber daya pertambangan batu bara dan energi yang melimpah, kontribusi sektor ini terhadap Pendapatan Asli Daerah masih belum maksimal. Masalah administrasi perusahaan dan keterbatasan kewenangan fiskal daerah menjadi kendala utama. Implementasi kebijakan NPWP percabangan dan sinergi antar lembaga daerah serta pusat dapat menjadi solusi untuk memperbaiki kondisi ini. Selain itu, pemanfaatan program CSR dan pengembangan energi terbarukan menjadi alternatif penting dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Sultra.
Kesimpulan
Saat ini, kekayaan hasil tambang batu bara dan energi di Sulawesi Tenggara belum mengalir optimal ke Pendapatan Asli Daerah. Permasalahan administratif seperti alamat perusahaan yang berada di luar Sultra dan keterbatasan kewenangan fiskal daerah menjadi penyebab utama. Namun, implementasi kebijakan NPWP percabangan dan kolaborasi antara pemerintah daerah, DPRD, dan Kantor Pajak berpotensi meningkatkan kontribusi fiskal daerah. Selain itu, program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tambang menjadi sumber pendapatan alternatif yang mendukung pembangunan lokal. Di sisi lain, industri batu bara Sultra tetap memberikan kontribusi penting dalam pasokan energi listrik nasional, meskipun tantangan lingkungan dan sosial memerlukan perhatian serius. Prospek pengembangan energi terbarukan di Sultra dapat menjadi solusi jangka panjang untuk keberlanjutan energi dan ekonomi daerah. Pemantauan dan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk mengoptimalkan manfaat dari sektor pertambangan, industri batu bara, dan energi di Sultra ke depan.